CIAMIS, CiamisRaya.iNews.id - Sejak pasca wabah Corona (Covid-19) melanda, petani di Ciamis hijrah. Tak lagi bergantung pada pupuk anorganik maupun obat-obatan kimia.
Sudah 3 kali musim tanam (MT), Herdiat atau akrab dipanggil Mang Endu (55), memilih bercocok tanam yang ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk dan pestisida/insektisida bahan alami.
"Semuanya hasil racikan sendiri dari bahan alami, terutama daun-daunan, baik untuk pupuk maupun obat-obatan," ujar Mang Endu kepada CiamisRaya.iNews.id saat ditemui di sawahnya di Blok Cikumetir Lingkungan Bolenglang Rt 04 RW 05 Kertasari Ciamis, Selasa (18/2/2025) pagi.
Pagi tersebut Mang Endu tengah melakukan penyerbukan alami dengan menggunakan potongan bambu untuk tanaman padinya yang sudah terbit malai.
"Perlu dilakukan bantuan penyerbukan manual agar pembuahannya optimal. Bulir padinya bernas, dan tidak banyak yang hampa," katanya.
Di lahan sawahnya seluas 100 bata (1.400 meter persegi) di sisi saluran irigasi Cikumetir Mang Endu bercocok tanam padi yang ramah lingkungan murni organik.
Untuk pupuk padi sawahnya Mang Endu memproduksi pupuk cair hasil fermentasi kohe (kotoran hewan) baik itu berupa kotoran ayam, domba maupun kotoran sapi yang dicampur dengan serpihan daun-daunan dalam wadah, dioplos dengan air cucian beras.
Campuran berbagai bahan alami tersebut ditambah air disimpan dalam drum pelastik kapasitas 200 liter. Setelah didiamkan selama 14 hari (2 minggu), pupuk cair hasil fermentasi bahan alami tersebut sudah bisa digunakan untuk "ngagemuk" padi.
"Beda dengan pupuk kimia (an organik) pemakaiannya secara ditabur. kalau pupuk cair ini disemprotkan," imbuh Mang Endu.
Penyemprotan pupuk cair tersebut rutin dilakukan setiap 2 minggu sekali setelah tanaman padi usia 2 minggu. Waktu penyemprotan pupuk dilakukan pada pagi hari jam 06.00 sampai jam 09.00 atau sore hari setelah Asar.
Kalau hari hujan atau mau hujan jangan semprotkan pupuk cair tersebut. Untuk lahan sawah seluas dibutuhkan 1.500 liter pupuk cair. Tanpa perlu mengeluarkan ongkos karena diracik sendiri dari bahan alami.
"Tentu beda dengan pakai pupuk kimia (pupuk an organik). Harus beli, harus keluar ongkos. Urea subsidi harganya Rp 3.000/kg. Ponska Rp 4.000/kg. 100 bata dibutuhkan 65 kg pupuk kimia. Jadi kalau pakai pupuk kimia minimal keluar uang Rp 300.000," jelasnya.
Di tengah kelangkaan dan sulit nya pupuk bersubsidi menurut Mang Endu, penggunaan pupuk organik hasil racikan sendiri menjadi solusi.
"Tidak hanya berdampak pada kelastarian lingkungan. Memakai pupuk organik buatan sendiri, akan mengurangi ketergantungan pada pupuk bersubsidi. Sekaligus membantu pemerintah mengurangi beban subsidi untuk pupuk," ujar Mang Endu optimis.
Penggunaan pupuk kimia an organik katanya memang praktis, tinggal ditabur. Tentu beda dengan pemakaian pupuk cair yang harus disemprotkan dengan menggunakan handspayer.
Guna menghemat tenaga Mang Endu memofikasi handspayer manual dengan menambahkan dinamo dan aki. Sehingga handspayernya tidak perlu dipompa.
Dan ketika tanaman padi terserang hama penyakit terutama serangga Mang Endu, maracik obat dari bermacam daun-daunan seperti daun cengkeh, daun laja, sereh serta puntung rokok atau tembakau yang fermentasi. Air hasil difermentasinya dipakai sebagai insektisida alam disemprotkan ke tanaman padi.
Kalau tanaman padi terjangkit hama wereng coklat (WBC), Mang Endu memanfaatkan kulit pohon kamboja (samboja) yang banyak tumbuh di komplek pamakaman.
Kulit pohon atau bunga kamboja tersebut dicincang-cincang jadi halus dicampur sereh atau tembakau (bako) direndam.dalam air panas selama 1 atau 2 hari. Air rendaman kulit pohon kamboja tersebut disemprotan ke tanaman padi yang terserang hama wereng coklat.
"Banyak bahan bahan alami yang bisa diolah jadi insektisida nabati," jelasnya.
Atas berbagai kreativitasnya Mang Endu bersama sejumlah petani di Blok Cikumetir Bolenglang memilih bercocok tanam padi secara organik hasil racikan sendi
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait