Dengan antusiasme yang tinggi dan bisa terus memegang semangat perjuangan kaum buruh di masa silam untuk terus dilanjutkan hingga saat ini.
"Kenapa kita perlu memahami peringatan May day, karena kita menghargai dan menghormati perjuangan tersebut," kata Irwan.
"Tidak menjadikan peringatan May day sebagai ajang “pesta dan hura-hura” atau "lomba-lomba dengan iming-iming hadiah sesaat," sambunya.
Namun momen ini harus dijadikan spirit untuk terus berjuang memperbaiki kehidupan, bahu-membahu demi terciptanya kerja layak, upah layak dan hidup layak.
Sejarah Singkat May Day
Irwan menceritakan sejarah May Day sebagai momentum perjuangan buruh. Saat memperingatinya para buruh khususnya di Kota Banjar jangan terjebak dengan perayaan yang tak menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
"Bagi kaum buruh, memperingati May day tidak boleh dimaknai sebatas sebuah ceremony semata," ujar dia.
Karena secara esensi May Day mempunyai makna yang begitu mendalam, memberikan pelajaran dan semangat perjuangan yang begitu berharga.
Ini menjadi alasan obyektif kenapa hingga saat ini menjadi sebuah keharusan bagi buruh dan seluruh rakyat memperingatinya.
Sejarah telah mencatat, bagaimana kaum buruh pada saat itu (1886-1890) menggelorakan sebuah perjuangan yang begitu hebat.
Kemudian memberikan pengorbanan yang tidak pernah ternilai untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan.
Pengurangan atas jam kerja, dari 16-12 jam/hari menjadi hanya 8 jam/hari adalah kemenangan besar bagi kaum buruh, bahkan keberhasilan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia hingga sekarang.
Kenapa pengurangan atas jam kerja memiliki makna yang mendalam pada perjuangan kaum buruh. Sistem kapitalisme menjadikan industri menjadi salah satu penopang utama berlakunya sebuah hubungan industrial yang timpang antara buruh sebagai tenaga produktif dengan pengusaha sebagai pemilik modal.
"Jangan terjebak dengan upaya penggembosan melalui istilah buruh sebagai mitra pengusaha, faktanya dari sudut manapun pengusaha selalu berperilaku merugikan buruh," terangnya.
Dalam pandangan kaum pemilik modal, buruh dianggap sama seperti bahan baku atau bahan mentah, upah bagi kaum buruh ditentukan (baca;dibeli) di awal oleh pemilik modal.
Editor : Asep Juhariyono