Harga tebus jagung bersubsidi ini di tingkat peternak sebesar Rp5.500 per kg, jauh di bawah harga pasar.
Koordinator Komisi Perencana Ciamis, Ir H Tiwa Sukriyanto yang hadir pada kesempatan tersebut menyebutkan persoalan harga dan kelangkaan jagung hampir terjadi setiap tahun yang berdampak besar pada kelangsungan usaha perunggasan di Ciamis. Baik itu ayam petelur, ayam pedaging maupun ayam buras.
Ciamis sendiri merupakan sentra perunggasan rakyat di Jabar. Sentra produksi ayam petelur serta sentra produksi ayam pedaging.
Untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga jagung ini menurut Tiwa sudah seharusnya ada solusi yang permanen dan berkelanjutan. Tidak hanya menjadi permasalahan sektor peternakan aja. Tetapi juga melibat sektor pertanian, perkebunan, badan perencanaan, PUPR (irigasi) bahkan Dinkes (stunting). Dan sektor lainnya.
“Harus ada upaya yang solusi berkelanjutan. Di Ciamis harus ada sentra produksi jagung sebagai penyangga kebutuhan pakan unggas,” ujar Ir Tiwa.
Sekedar contoh, untuk budidaya ayam petelur di Ciamis membutuhkan 120 ton jagung per hari. Belum lagi untuk ayam pedaging maupun ayam petelur. Dan Ciamis sampai saat ini belum punya sentra produksi jagung. Kebutuhan jagung peternak masih didatangkan dari luar termasuk impor.
Secara kasuistis masalah kelangkaan jagung ini menurut Tiwa memunculkan hal yang menarik. Petani jagung di Tambaksari kesulitan menjual jagungnya saat panen, sementara peternak di kawasan Ciamis Utara kesulitan mendapatkan jagung.
“Kondisi yang sama juga terjadi dengan komoditi singkong. Petani singkong di Tambaksari terpaksa menjual singkongnya dengan harga hanya Rp500 per kg karena kesulitan pembeli. Sementara perajin keripik kaca di Wanasigra, Cikoneng terpaksa mendatangkan singkong dari Lampung meski harganya sampai Rp2.500 per kg karena sulit memperoleh singkong di Ciamis. Sebenarnya kenapa hal ini sampai terjadi,” pungkasnya.
Editor : Asep Juhariyono