JAKARTA, iNewsCiamisRaya.id – Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa 60 persen remaja usia 16 hingga 17 tahun di Indonesia telah melakukan hubungan intim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak remaja di bawah umur di Indonesia sudah banyak yang melakukan hubungan intim, alias seks ternyata bukanlah isapan jempol semata.
Menanggapi fakta di atas, Sosiolog dari Prodi Ilmu Sosiologi Universitas Sebelas Maret, Argyo Demartoto, mengungkapkan, situasi seperti ini memang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari internal maupun eksternal.
Lantas, apa saja faktor penyebab terjadinya fenomena seks bebas di kalangan remaja usia 16 tahun? Berikut penjelasan yang disampaikan Argyo Demartoto saat dihubungi melalui sambungan telpon oleh MNC Portal pada Jumat (4/8/2023).
Faktor Penyebab Fenomena Seks Bebas di Kalangan Remaja Usia 16 Tahun
1. Faktor Internal
Faktor internal yang dapat mempengaruhi perilaku seks bebas pada remaja meliputi hasrat atau dorongan seksual yang muncul pada masa remaja ketika reproduksi masuk pada usia subur. Dorongan seksual ini dapat muncul saat berada bersama pasangan.
"Ada dorongan seksual dari masa remaja, yang masa reproduksinya masuk di usia subur, kemudian juga motivasi seksual terutama ya itu dorongan internal,” ujar Argyo Demartoto, saat dihubungi MNC Portal, Jumat (4/8/2023).
“Hasrat seksual ketika bersama pacar atau partner begitu,” imbuhnya.
2. Faktor Eksternal
Bukan hanya faktor dari dalam diri, seperti dorongan biologis. Faktor eksternal juga memainkan peran penting, misalnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang mudah didapatkan melalui media sosial.
Selain itu, perubahan zaman juga mempengaruhi keputusan remaja berusia 16 hingga 17 tahun untuk terlibat dalam hubungan intim. Era digital memungkinkan remaja untuk mencari sumber penghasilan sendiri dengan mudah, seperti melalui media sosial. Sehingga para anak remaja merasa sudah bisa mengambil keputusan hidupnya sendiri.
"Mereka sudah pintar memperoleh uang. Oh kalau saya nanti membentuk keluarga saya bisa dapat uang dari media sosial, katakanlah menjadi Youtuber, influencer , media sosial, dan lain sebagainya, jadi saya bisa menghidupi keluarga saya," kata sang sosiolog.
3. Risk Society
Konsep "risk society" atau masyarakat yang beresiko digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan situasi ini. Remaja yang berisiko melakukan hubungan intim mungkin merasa bahwa mereka dapat mengatasi konsekuensi yang mungkin timbul, seperti kehamilan, karena mereka merasa mampu mencari nafkah sendiri melalui aktivitas di media sosial.
"Kalau di ilmu sosiologi, ini disebut risk society masyarakat yang beresiko," lanjut Argyo.
4. Refleksivitas Diri
Sosiolog menyarankan agar remaja menggunakan refleksivitas diri untuk mencegah perilaku berisiko. Artinya, remaja perlu mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka, seperti risiko kehamilan, dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat, seperti menggunakan kondom.
"Kalau konteks ini remaja ada hasrat seksual terhadap pasangannya, kemudian mereka bisa menyaring itu. 'Kalau saya melakukan hubungan intim, dari pengetahuan yang saya peroleh saya akan hamil duluan, tetapi kalau saya menggunakan kondom saya bisa tidak hamil'. Seperti itu," tutup Argyo panjang lebar.
Dalam konteks ini, penjelasan dari sosiolog mencoba untuk memahami dan mengurai faktor-faktor sosial dan psikologis yang mendorong fenomena seks bebas di kalangan remaja. Hal ini dapat membantu dalam merumuskan pendekatan dan strategi yang lebih efektif dalam mengatasi tantangan ini, baik melalui pendidikan seksual yang lebih komprehensif, dukungan sosial, dan pendekatan holistik lainnya.
Editor : Asep Juhariyono