Rencana pernikahan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk murni masalah asmara, hubungan antara laki dan perempuan, tidak ada nuansa politik di dalamnya.
Makanya, saat rombongan Raja Sunda tiba di Desa Bubat, kepala desa menghadap Raja Hayam Wuruk untuk mengabarkan bahwa rombongan Raja Sunda telah datang.
Kabar itu disambut gembira Raja Hayam Wuruk dan pembesar istana. Apalagi, mereka sudah menyiapkan sambutan besar-besaran dengan menghias istana.
Bahkan Raja Hayam Wuruk bersiap menyongsong rombongan ke Desa Bubat. Tapi, sang patih Gajah Mada menujukkan ketidaksenangannya dengan niat Raja Hayam Wuruk menyusul calon besannya ke Desa Bubat.
Gajah Mada yang memang patih senior dan dituakan berani mencela Raja Wuruk yang masih muda dan tidak berpengalaman. Karena hal itu menurut Gajah Mada sama saja merendahkan martabat Majapahit.
Para menteri yang mendengar kemarahan Gajah Mada ikut terperanjat. Namun mereka terlalu takut dengan Gajah Mada. Begitu juga Hayam Wuruk akhirnya memilih menuruti kemauan Gajah Mada daripada menjemput calon istrinya Dyah Pitaloka yang menunggu di Desa Bubat.
Akhirnya Raja Hayam Wuruk yang kurang pengalaman itu memutuskan tetap berada di istana mengikuti kemauan Gajah Mada.
Kemudian, rombongan Raja Sunda menerima kebocoran soal sikap ketidaksukaan Gajah Mada terhadap rombongan Raja Sunda.
Raja Sunda pun mengirim 300 prajurit ke Majapahit menghadap Gajah Mada. Intinya, menjelaskan bahwa Raja Sunda menerima pinangan Raja Hayam Wuruk sebagai menantunya untuk disandingkan dengan putri mereka Dyah Pitaloka yang rupawan.
Namun jawaban patih Gajah Mada terhadap rombongan prajurit Sunda penuh penghinaan. Kata Gajah Mada, Raja Sunda harus menyerahkan putri mereka sebagai persembahan daerah taklukan Majapahit seperti daerah vassal atau daerah taklukan lainnya.
Tentu utusan prajurit Sunda menolak mentah-mentah keinginan Gajah Mada. Percekcokan hebat terjadi pada kedua kubu. Smaranata Brahmin dari Istana turun tangan mencegah pertumpahan darah lebih parah.
Akhirnya, rombongan prajurit Sunda kembali ke Bubat. Diberitahukan, dua hari lagi utusan Majapahit akan datang ke Bubat untuk menuntaskan masalah ini.
Dua hari yang dijanjikan datanglah 100 prajurit Majapahit ke Bubat. Pesan yang mereka bawa sama seperti diungkapkan Gajah Mada bahwa Raja Sunda harus menyerahkan putri mereka kepada Raja Hayam Wuruk sebagai sesembahan daerah vassal atau taklukan.
Tentu syarat itu ditolak mentah-mentah Raja Sunda dan prajuritnya. Mereka siap berperang sampai darah penghabisan untuk membela harga diri Kerajaan Sunda.
Meski mereka menyadari posisinya lemah karena membawa rombongan prajurit tidak banyak. Untuk mundur, balik ke Sunda tidak mungkin karena jaraknya terlalu jauh. Akhirnya, pasukan Majapahit dipimpin Gajah Mada mengepung tenda perkemahan prajurit Sunda.
Tanpa ada ampun semua rombongan Raja Sunda, tak terkecuali raja, para menteri, hulubalang, bangsawan, prajurit dihabisi.
Satu-satunya pejabat Kerajaan Sunda yang selamat adalah Pitar yang berpura-pura mati di gelimangan mayat rombongan Raja Sunda yang dengan gagah berani melawan tentara Majapahit pimpinan Gajah Mada.
Pitar akhirnya membawa kabar duka kepada permaisuri Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka yang akan dinikahi Hayam Wuruk dimana sebelumnya sudah diungsikan dari Desa Bubat.
Akibat kesedihan mendalam, permaisuri Raja Sunda dan para istri para menteri maju ke medan laga dan melakukan bunuh diri masal di atas mayat-mayat suami mereka.
Sedangkan putri Raja Sunda Dyah Pitaloka memilih bunuh diri dengan cara menikam perut mereka sendiri sesuai anjuran ibu permaisuri.
Konon dalam salah satu versi disebutkan Raja Hayam Wuruk yang mendengar calon istrinya bunuh diri sangat terpukul. Begitu menemukan jenazah Dyah Pitaloka, Hayam Wuruk pingsan. Sejak itu kehidupan Raja Hayam Wuruk merana sampai akhirnya meninggal.
Sumber: Buku Samudra Pasai karya Putra Gara, Penerbit Hikmah, Gajah Mada Biografi Politik karangan Agus Aris Munandar, dan diolah dari berbagai sumber
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com dengan judul " Kelihaian Gajah Mada Taklukan 2 Kerajaan Besar, Samudera Pasai dan Sunda | Halaman 6 "
Editor : Asep Juhariyono