Hal senada disampaikan H. Wandi dari Tanjung Mulia Grup. Ia mengungkapkan bahwa dominasi korporasi besar telah menggerus peternakan mandiri di Ciamis, yang dulunya menjadi sentra ayam broiler terbesar di Jawa Barat. Kini, hanya sekitar 5 persen budidaya BR yang masih dikelola peternak rakyat.
“Harapan satu-satunya ada pada budidaya pejantan. Jangan sampai sejarah kelam BR terulang kembali,” tegasnya.
Pejantan, menurut H. Koswara Suwarman selaku Sekretaris P2AP, telah menjadi andalan peternak Ciamis selama lebih dari tiga dekade. Dengan memanfaatkan DOC jantan dari ayam petelur yang tidak digunakan di kandang produksi telur, para peternak mengembangkan sektor alternatif ini secara masif.
Setiap minggu, lebih dari 1 juta ekor ayam pejantan dipanen dan disalurkan ke pasar Jabodetabek, Bandung, hingga Cirebon.
Namun kini, dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar ke sektor tersebut, muncul kekhawatiran bahwa peternak rakyat kembali akan tersingkir.
“Kami butuh perlindungan yang konkret, termasuk regulasi khusus yang melarang perusahaan besar bermain di sektor pejantan,” tegas H. Kuswara.
Anggota Komisi IV DPR RI, Ir. H. Herry Dermawan, yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Organisasi Peternakan Ayam Nasional (Go PAN), menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan perlindungan terhadap peternak pejantan hingga ke tingkat nasional.
“Pejantan harus diakui sebagai sumber protein utama seperti ayam broiler dan petelur. Pemerintah harus memastikan sektor ini tetap menjadi ladang usaha rakyat, bukan dikuasai konglomerat,” tegas Herry.
Ia juga mengabarkan bahwa harga ayam BR yang sempat merosot tajam dalam beberapa minggu terakhir, kini mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Ia berharap pertengahan Mei nanti harga ayam hidup sudah kembali berada di atas Rp17 ribu per kilogram.
Editor : Asep Juhariyono
Artikel Terkait