Warisan di Dunia Kedokteran
Di luar itu semua kecerdasan karya-karyanya sebagai dokter muslim pertama memberikan pengaruh mendalam terhadap sekolah-sekolah medis Eropa hingga abad ke-17.
Ia menjadi pelopor ilmu kedokteran eksperimental (Danielle Jacquart, Islamic Pharmacology in the Middle Ages: Theories and Substances, 2008:27).
Dua karyanya yang paling berpengaruh, ensiklopedia filsafat Kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan) dan The Canon of Medicine, menjadi warisannya bagi dunia kedokteran yang diakui oleh dunia Barat.
The Canon of Medicine—atau Al Qanun fi Tibb—menjadi buku kedokteran eksperimental paling penting yang pernah ditulis dalam sejarah dan menjadi kanon pengobatan dalam dunia Muslim dan Eropa hingga abad ke-17.
Buku Canon dipakai oleh para pengajar medis di Barat untuk memperkenalkan prinsip dasar sains pada mahasiswanya, karena memuat praktik dan teori kedokteran seperti penjelasan dalam teks-teks Yunani-Romawi.
Melalui buku itu, ia berkontribusi pada kemajuan ilmu anatomi, ginekologi, dan pediatri dan dokter pertama yang melakukan uji klinis dan pengenalan farmakologi klinis (Erica Fraser, The Islamic World to 1600, 1998).
Penemuan mengenai penyakit yang sekarang populer semacam kanker, tumor, diabetes dan efek placebo hingga bedah tumor juga dibahas dalam buku itu.
Di bidang psikologi, jauh sebelum Carl Jung dan Sigmund Freud, ternyata Ibnu Sina telah menemukan dasar-dasar psikologi modern.
Avicenna telah mempelopori psikofisiologi, psikosomatik, dan neuropsikiatri, dan temuannya ini dituliskan dalam jurnal.
Beberapa penyakit yang dibahas dalam jurnal tersebut di antaranya halusinasi, insomnia, mania, demensia, dan vertigo.
Sakit Perut
Akhir hidup filsuf eksentrik ini berakhir di bulan Ramadan 1037 Masehi, saat dalam perjalanan menemani Ala al-Dawla menuju Hamadan. Ia meninggal karena sakit perut, mengalami luka parah, dan tidak bisa bertahan hingga menghembuskan nafas terakhir.
Pada 1913, dokter dan profesor kedokteran Kanada, Sir William Osler menyebut Ibnu Sina sebagai "penulis buku teks medis paling terkenal yang pernah ditulis sepanjang sejarah."
Osler, seperti terpacak pada laman Britanicca, menilai sosoknya sebagai seorang praktisi kedokteran yang sukses sekaligus berperan sebagai negarawan, guru, filsuf dan tokoh sastra.
Makam Ibnu Sina di kota Hamadan, sebelah tenggara Teheran, Iran, pada 1950 diperbarui dan diubah menjadi museum yang dilengkapi dengan perpustakaan dengan ribuan koleksi buku.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews dengan judul "Ibnu Sina, Mengapa Filsuf dan Dokter Ini Dituduh Atheis? "
Editor : Asep Juhariyono