Kisah Ibnu Sina, Seorang Filsuf dan Dokter yang Dituduh Atheis

Miftah H. Yusufpati/Eni Pepin Lusiani
Ibnu Sina yang memilih hidup membujang ini oleh sementara umat Islam dianggap ateis. Foto: Ilustrasi/Ist

JAKARTA, iNewsCiamisRaya.id Ibnu Sina atau Avicenna merupakan seorang filsuf dan dokter yang tersohor. Hingga kini karya tulisnya yang diakui dunia menjadi referensi penting di dunia kedokteran. Ibnu Sina memilih hidup membujang, dan mengapa dia oleh sementara kalangan dituduh atheis?

Ibnu Sina yang menganut aliran Mu’tazilah, oleh sementara kalangan muslim dianggap atheis atau tak mempercayai Tuhan.

Aliran Mu’tazilah tersebut menjadi pondasi bagi lahirnya filsafat Islam dengan tokoh-tokohnya yang dikenal setelahnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Aliran Mu'tazilah ditolak oleh sebagian penganut Sunni karena beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi.

Penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim (Robert Wisnovsky, Avicenna's Metaphysics in Contexts, 2003).

Avicenna mengintegrasikan gagasan dan metodologi Aristoteles, neoplatonisme, dan filsafat Yunani lainnya dengan tradisi monoteistik Islam.

Ia mengadopsi teori neoplatonisme, tapi dia membuat membedakan antara Tuhan dan ciptaan untuk menghindari kecenderungan neoplatonis terhadap panteisme.

Dia adalah salah satu filsuf pertama yang menerapkan logika filsafat terhadap teologi Islam, dan tulisannya memicu reaksi keras dari para teolog Islam.

Meski demikian, seperti dicatat New World Encyclopedia, karyanya menjadi buku teks standar di madrasah-madrasah. Sebagai salah satu ilmuwan berpengaruh di abad pertengahan masa kejayaan Islam. Ibnu Sina telah membaca Al-Quran dan sastra sejak umur 10 tahun.

Biografi Singkat

Ibnu Sina dilahirkan dari pasangan Setareh dan Abdullah pada 980 Masehi di Uzbekistan. Dibimbing oleh Natili, Ibnu Sina belajar logika dasar dan pada usia 16 tahun mempelajari ilmu pengobatan.

Saat Sultan Bukhara jatuh sakit, Avicenna-lah yang berhasil menyembuhkannya. Sebagai ucapan terima kasih, seperti ditulis Encyclopedia Britannica, sang sultan membuka perpustakaan kerajaan Samanid untuknya.

Sejak itu, ia mulai menulis pada usia 21 tahun dan menghasilkan 240 tulisan. Karya-karyanya melintasi bidang-bidang matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, metafisika, filologi, musik, dan puisi.

Laki-laki yang dikenal tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya ini sulit diketahui catatan mengenai kehidupan pribadinya.

Satu-satunya sumber dari otobiografi yakni catatan yang didiktekan pada anak didiknya, al-Juzjani. Dituliskan dalam otobiografi itu, Ibnu Sina tetap memiliki banyak kawan dari berbagai kalangan meski tetap dimusuhi dan difitnah oleh golongan Islam puritan, bahkan sempat dipenjara.

Warisan di Dunia Kedokteran

Di luar itu semua kecerdasan karya-karyanya sebagai dokter muslim pertama memberikan pengaruh mendalam terhadap sekolah-sekolah medis Eropa hingga abad ke-17.

Ia menjadi pelopor ilmu kedokteran eksperimental (Danielle Jacquart, Islamic Pharmacology in the Middle Ages: Theories and Substances, 2008:27).

Dua karyanya yang paling berpengaruh, ensiklopedia filsafat Kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan) dan The Canon of Medicine, menjadi warisannya bagi dunia kedokteran yang diakui oleh dunia Barat.

The Canon of Medicine—atau Al Qanun fi Tibb—menjadi buku kedokteran eksperimental paling penting yang pernah ditulis dalam sejarah dan menjadi kanon pengobatan dalam dunia Muslim dan Eropa hingga abad ke-17.

Buku Canon dipakai oleh para pengajar medis di Barat untuk memperkenalkan prinsip dasar sains pada mahasiswanya, karena memuat praktik dan teori kedokteran seperti penjelasan dalam teks-teks Yunani-Romawi.

Melalui buku itu, ia berkontribusi pada kemajuan ilmu anatomi, ginekologi, dan pediatri dan dokter pertama yang melakukan uji klinis dan pengenalan farmakologi klinis (Erica Fraser, The Islamic World to 1600, 1998).

Penemuan mengenai penyakit yang sekarang populer semacam kanker, tumor, diabetes dan efek placebo hingga bedah tumor juga dibahas dalam buku itu.

Di bidang psikologi, jauh sebelum Carl Jung dan Sigmund Freud, ternyata Ibnu Sina telah menemukan dasar-dasar psikologi modern.

Avicenna telah mempelopori psikofisiologi, psikosomatik, dan neuropsikiatri, dan temuannya ini dituliskan dalam jurnal.

Beberapa penyakit yang dibahas dalam jurnal tersebut di antaranya halusinasi, insomnia, mania, demensia, dan vertigo.

Sakit Perut

Akhir hidup filsuf eksentrik ini berakhir di bulan Ramadan 1037 Masehi, saat dalam perjalanan menemani Ala al-Dawla menuju Hamadan. Ia meninggal karena sakit perut, mengalami luka parah, dan tidak bisa bertahan hingga menghembuskan nafas terakhir.

Pada 1913, dokter dan profesor kedokteran Kanada, Sir William Osler menyebut Ibnu Sina sebagai "penulis buku teks medis paling terkenal yang pernah ditulis sepanjang sejarah."

Osler, seperti terpacak pada laman Britanicca, menilai sosoknya sebagai seorang praktisi kedokteran yang sukses sekaligus berperan sebagai negarawan, guru, filsuf dan tokoh sastra.

Makam Ibnu Sina di kota Hamadan, sebelah tenggara Teheran, Iran, pada 1950 diperbarui dan diubah menjadi museum yang dilengkapi dengan perpustakaan dengan ribuan koleksi buku.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews dengan judul "Ibnu Sina, Mengapa Filsuf dan Dokter Ini Dituduh Atheis? "

Editor : Asep Juhariyono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network